Box Layout

HTML Layout
Backgroud Images
Backgroud Pattern
blog-img-10

Posted by : admin

KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN FARMASI

Lulusan pendidikan farmasi memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang unik serta kompleks, dengan fokus kemampuan dalam penyediaan obat (sediaan farmasi) yang aman, efektif, stabil dan bermutu, serta kemampuan dalam pelayanan kefarmasianyang berorientasi pada keamanan dan kemanjuran penggunaan obat. Kompetensi (learning outcomes) lulusan pendidikan farmasi mencakup ketrampilan, perilaku, sikap dan tata nilai yang dimiliki oleh lulusan berbasis pengetahuan yang diperoleh selama pendidikan dan pengalaman praktik. Pengembangan kompetensi lulusan pendidikan farmasi mengacu pada empat pilar pembelajaran dari UNESCO,yaitu: (1)Pilar pertama “Learning to know”, mengacu pada kemampuan pembelajar untuk memahami alam, manusia dan lingkungannya, kehidupannya, serta merasakan “senangnya” mengetahui, menemukan dan memahami suatu proses (knowledge, cognitive). Pada dasarnya pilar ini meletakkan dasar belajar sepanjang hayat. (2)Pilar kedua “Learning to do”, mengacu pada ketrampilan untuk mengaplikasikan pengetahuan dalam praktik atau dalam kehidupan sehari-hari, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi, belajar berkerjasama dalam tim, mengambil inisiatif, dan mengambil resiko (practice, psychomotoric, attitudes). Pada perkembangannya “learning to do” bergeser dari ketrampilan (skill) menuju kompeten (competence), antara lain dalam bentukkemampuan komunikasi efektif, kecakapan bekerja dalam tim, ketrampilan sosial dalam membangun relasi interpersonal, kemampuan beradaptasi, kreatifitas dan inovasi, maupun kesiapan untuk mengambil resiko dan mengelola konflik. (3)Pilar ketiga “Learning to life together”, mengacu pada kemampuan memahami diri sendiri dan orang lain, mengembangkan empati, respek dan apresiasi pada orang lain dalam berkehidupan bersama, menghargai perbedaan nilai dan budaya, kesediaan untuk menyelesaikan konflik melalui dialog, dan kemampuan untuk bekerjasama (team work, collaboration, growing interdependence). (4)Pilar keempat “Learning to be”, mengacu pada pengembangan kepribadian individu secara utuh melalui penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai (values) yang kondusif bagi pengembangan kepribadian, dalam dimensi intelektual, moral, kultural, dan fisik (experience, affective, attitude, behavior). Pada tahun 2009 UNESCO3dalam konteks Education for Sustainaible Development(ESD) menambahkan pilar kelima “Learning to transform one-self and society”, mengacu pada pengembangan kepribadian serta kepedulian pada lingkungan dan masyarakat melalui penguasaan pengetahuan, nilai-nilai (values), dan ketrampilan mentransformasi kebiasaan, perilaku dan gaya hidup yang berorientasi pada pengembangan berkelanjutan. Melalui pilar kelima ini, lulusan pendidikan tinggi farmasi diharapkan mampu menggunakan pertimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan secara seimbang dalam pengembangan dan peningkatan kualitas hidup manusia secara berkelanjutan. Sesuai dengan piramida Miller, pencapaian kompetensi lulusan pendidikan sarjana farmasi yang merupakan jenjang awal pencapaian kompetensi lulusan difokuskan pada kemampuan kognitif yaitu pada penguasaan pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skills) untuk mencapai level “knows” dan “knows how”. Sedangkan kompetensi lulusan pendidikan profesi apoteker lebih difokuskan pada pengembangan sikap, nilai, dan perilaku (behaviour) yaitu pada penguasaan kemampuan melakukan praktik profesi (competence)untuk mencapai level “shows how” (performance). WHO dan FIP (1997) menetapkan “the Seven-Star Pharmacist” sebagai peran esensial sekaligus minimal yang diharapkan dari apoteker. Ketujuh peran tersebut adalah: (1) care giver, (2) decision maker, (3) communicator, (4) leader, (5) manager, (6) life-long learner, dan (7) teacher. Meningkatnya kompleksitas permasalahan terkait obat membuat pilihan intervensi obat tidak lagi dapat hanya didasarkan pada pilihan atau pengalaman pribadi. Rasionalitas pilihan intervensi obat harus menggunakan pendekatan evidencebased medicine,untuk itu diperlukan kemampuan researcher. Dimensi baru pelayanan kefarmasian yang berkembang dari “product oriented” ke “patient oriented” menuntut kesiapan tenaga kefarmasian untuk menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang bermutu tinggi dan mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian secara komprehensif yaitu “pharmaceutical care”. Pharmaceutical care umum didefinisikan sebagai “the responsible provision of pharmacotherapy for the purpose of achieving definite outcomes that improveormaintaina patient’s quality of life”.Filosofi pharmaceutical caremenjadi dasar pengembangan kurikulum pendidikan tinggi farmasi. Ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten merupakan prasyarat esensial dalam pelayanan kesehatan. FIP (2010)merekomendasikan “A Global Competency Framework” sebagai pedoman pelayanan kefarmasian. Kerangka kompetensi tersebut merupakan hasil studi komparasi berbagai dokumen pedoman praktik kefarmasian di berbagai negara untuk mengidentifikasi kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan dalam praktik kefarmasian. Hasil identifikasi selanjutnya di kelompokkan menjadi 4 (empat) area kompetensi yaitu: (1)Pharmaceutical Care Competencies, berfokus pada kesehatan pasien; (2)Public HealthCompetencies, berfokus pada kesehatan masyarakat (populasi); (3)Organisation and Management Competencies, berfokus pada sistem; dan (4)Professional/Personal Competencies, berfokus pada kemampuan praktik. Untuk merespon tuntutan perkembangan di tingkat nasional dan global, pendidikan tinggi farmasi Indonesia juga harus memfasilitasi pengembangan kompetensi peserta didik dan lulusannya dalam arti luas mencakup pengetahuan, sikap, kecakapan/ketrampilan, dan perilaku untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya dalam praktik kefarmasian Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian menuntut tenaga kefarmasian untuk terus mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuannya (life-long learner).

Sesuai dengan ketentuan dalam lampiran Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, deskripsi kualifikasi untuk jenjang 6 (enam) meliputi: (a)Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. (b)Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. (c)Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. (d)Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggungjawab atas pencapaian hasil kerja organisasi. Kompetensi yang harus dicapai atau dimiliki lulusan pendidikan tinggi farmasi harus sesuai atau mendekati kompetensi yang dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders), dalam hal ini kompetensi untuk melakukan praktik kefarmasian secara profesional. Perumusan kompetensi lulusan dalam naskah ini diawali dengan identifikasi kompetensi apoteker sebagai luaran (outcomes) akhir pembelajaran melalui benchmarkingstandar kompetensi apoteker Indonesia dengan standar kompetensi farmasis Australia, Singapura, the seven star of pharmacistdan kerangka kompetensi farmasis global. Selanjutnya kompetensi lulusan pendidikan sarjana farmasi diturunkan dari hasil identifikasi kompetensi lulusan pendidikan apoteker.Kompetensi lulusan juga disesuaikan dengan deskripsi kualifikasi KKNI jenjang 6 (enam) untuk lulusan program pendidikan sarjana.